Fungsi Bank Syariah

Fungsi Bank Syariah



Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, pasal 4 dijelaskan fungsi bank syariah sebagai berikut:
  • Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
  • Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
  • Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari dana wakaf uang dan menyalurkanya kepada pengelola wakaf (nadzir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
  • Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih rinci Wiroso (2009;82-87) membagi fungsi bank syariah ke dalam empat fungsi utama yaitu:
  • Fungsi manajer investasi. Bank syariah merupakan manajer investasi dari pemilik dana (shahibul maal) dari dana yang dihimpun dengan prinsip mudharabah, karena besar-kecilnya imbalan (bagi hasil) yang diterima oleh pemilik dana , sangat tergantung pada hasil usaha yang diperoleh (dihasilkan) oleh bank syariah dalam mengelola dana.
  • Fungsi Investor. Dalam penyaluran dana, baik dalam prinsip bagi-hasil atau prinsip jual-beli, bank syariah berfungsi sebagai investor (sebagai pemilik dana). Oleh karena itu sebagai pemilik dana maka dalam menanamkan dana dilakukan dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dan tidak melanggar syariah, ditanamkan pada sektor0sektor produktif dan memiliki resiko yang minim.
  • Fungsi Jasa Perbankan. Dalam operasionalnya, bank syariah juga memiliki fungsi jasa perbankan berupa layanan kliring, transfer, inkaso, pembayaran gaji dan lainya yang tidak melanggar prinsip syariah.
  • Fungsi Sosial. Dalam konsep perbankan syariah mewajibkan bank syariah memberikan layanan sosial melalui dana qard, zakat, dan dana sumbangan lainya yang sesuai dengan prinsip syariah. Konsep perbankan syariah juga mengharuskan bank-bank syariah untuk memainkan dan memberikan kontribusi bagi perlindungan dan pengembangan lingkungan. Fungsi ini juga merupakan yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional, dalam bank syariah fungsi sosial tidak dapat dipisahkan dari fungsi-fungsi lainya dan merupakan identitas khas bank syariah. Bahkan dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS) yang dikeluarkan IAI, bahwa salah satu unsur laporan keuangan bank syaria adalah komponen laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan syariah , berupa Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, dan Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan. 
PPAP: Kewajiban Siapa ?

PPAP: Kewajiban Siapa ?

Salah satu praktik perbankan yang sulit dimengerti oleh para ulama adalah alokasi dana untuk mencadangkan penghapusan bagi aktiva-aktiva produktif yang mungkin bermasalah. Padahal di Indonesia ketentuan pencadangan ini merupakan ketentuan yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sejak program restrukturisasi perbankan nasional dicanagkan tahun 1998, ketentuan perbankan mulai ketat kembali, setelah 10 tahun terkesan "hilang kendali". Bahkan salah satu kesepakatan dengan IMF adalah diberlakukanya standar pengaturan perbankan yang merujuk kepada ketentuan internasional.

Keharusan pencadangan terhadap aktiva (aset) bermasalah muncul di antaranya karena adanya resiko yang timbul dari pembiayaan (istilah konvensionalnya kredit) yang dilakukan oleh bank. ketentuan perbankan yang mengatur hal ini (Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif [PPAP] sebanarnya telah diberlakukan sejak lama, namun krisi yang membuat rontok perbankan pada tahun 1997 membuat ketentuan pencadangan menjadi semakin penting. Para anggota dewan Pengawas Syariah di bank syariah tentu merasa harus meneliti terdahulu sejauh mana keabsahan ketentuan ini di sisi syariah, apakah bisa begitu saja diterapkan tanpa melihat keunikan dari bank syariah. Karena itu, ketika masalah ini dibawa ke Dewan Syariah Nasional oleh para akuntan, terjadi perdebatan cukup panjang.

Para ulama melihat bahwa ketentuan pencadangan boleh-boleh saja diterapkan atas dasar kehati-hatian (ihtiyathi) yang juga diharuskan oleh syariah. Tapi ternyata ditemukan bahwa banyak yang harus diperhatikan dalam ketentuan ini. Misalkan produk pembiayaan bank syariah yang berbeda dari kredit bank biasa. Mungkin hanya Murabahah saja yang bisa diukur dengan ketentuan biasa. Tapi untuk Salam (pembelian barang nasabah oleh bank secara indent) dan ijarah (penyewaan barang bank kepada nasabah) analisisnya bebeda sama sekali. Pada salam, nasabah berhutang barang kepada bank, sedangkan dalam ijarah nasabah mengunakan milik bank dan membayar sewanya.

Demikian pula pada produk bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah. Kedua produk ini sangat terbuka terhadap resiko fluktuasi ekonomi dan faktor eksternal lainya. Analisis pendapatan dari bisnis bagi-hasil inipun harusnya menyerupai analisis investasi. Karena itu, penghitungan resikonya pun berbeda, yang mengakibatkan berbeda ketentuan pencadangannya, serta dampaknya bagi analisis kesehatan bank, seperti rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio, CAR)

Dalam hal ini, DSN bertahan kepada ketentuan perbankan di Indonesia, demi menjaga mashlahat nasabah. Karena itu, DSN menetapkan bahwa pencadangan harus dialokasikan dari dana (modal/keuntungan) bank. Jika pencadangan harus diambil dari keuntungan yang menjadi hak nasabah, tidakmudah untuk mengukur sejauh mana para pengurus bank untuk tidak mengambil hak nasabah, padahal pengetahuan dan keahlian perhitungan keuangan lebih banyak dikuasai bank. 

Keputusan yang dituangkan DSN dalam bentuk fatwa ini berbeda dengan Standar Provision and Reserve yang dikeluarkan AAOFI Bahrain. Selain itu ditambah dengan ketentuan pencadangan ini walaupun denga rumus yang berbeda. AAOFI memandang bahwa karena dalam islam investasi itu memiliki resiko yang harus ditanggung, baik pemilik dana maupun pengelola, maka cadangan harus ditanggung bersama pula. Artinya pemilik dana (penyimpan) harus ikut menanggung pencadangan tersebut. Caranya tentu tidak dengan memotong simpanannya, tetapi menyisihkan dari keuntungan yang didapat bank sebelum dibagikan kepada nasabah. Metode ini kelihat lebih adil, tetapi secara teknis akan mengalami masalah yang sama dalam hal "time-macth". jika pencadangan dilakuka selama 1 tahun, sesuai lamanya investasi dan pembiayaan, sedangkan investasi yang dilakukan oleh nasabah hanya enam bulan, apabila dana pencadangan yang disisihkan dari keuntungan selama enam bulan pertama ditarik pada akhir tahun, kepada siapa dana itu dibagikan, padahal pemegang dana lama sudah menarik dananya dari bak tersebut. kecuali jika metode investasi yang digunakan memang macth, baik jumlah maupun jangka waktunya. 

Sumber: Buku "Belajar Mudah Ekonomi Islam", penulis: H.Cecep Maskanul Hakim, M.Ec. hal 271-273
Diskon Murabahah: Milik Siapa ?

Diskon Murabahah: Milik Siapa ?

Suatu kelaziman dalam transaksi jual-beli apabila sebuah bank membeli suatu barang tunai, maka si penjual memberikan potongan harga. Masalahnya, apabila transaksi itu merupakan kelanjutan dari akan murabahah antara nasabah (sebagai pembeli kedua) dan bank (sebagai penjual kepada nasabah, sekali gus pembeli kepada pemasok)- atau yang dikenal dengan murabahah dengan pesanan atau dalam istilah fiqhnya murabahah li al-amir bi al syira, maka potongan harga dari pemasok ini jadi milik siapa ?

Para ulama sepakat bahwa potongan harga ini-yang tentunya menjadikan harga lebih murah- jika dilakukan sebelum akad penjualan kepada nasabah, merupakan hak nasabah. Karena menurut definisinya, murabahah adalah jual-beli pada harga pembelian ditambah keuntungan yang disepakati. karena itu potongan harga yang diberikan pemasok (padahal pembelian dari pemasok oleh bank merupakan kelanjutan transaksi murabahah dengan pesanan) akan membentuk harga jual baru dari bank yang lebih rendah dari yang diperkirakan di awal. singkat kata, potongan harga ini milik nasabah.

Tapi persoalan kedua muncul, yaitu apabila potongan harga itu terjadi ketika transaksi murabahah sudah berjalan dan pembayaran nasabah tidak tunai (cicilan). apabila pemasok kemudian memberikan potongan harga, pertanyaan yang muncul adalah milik siapa potongan harga itu, nasabah atau bank ? padahal akad sudah disepakati dan didalamnya disebutkan harga yang harus dibayar. Standar AAOIFI bahrain menyebutkan tiga pilihan, bisa jadi milik salah satu dari nasabah dan bank, dan pilihan ketiga adalah dibagi di antara keduanya. Tidak dijelaskan alasan mengapa muncul tiga pilihan tersebut. 

Yang kita tahu adalah bahwa apabila diambil dari definisi, wajar jika potongan harga yang diberikan pemasok menjadi milik nasabah, karena perubahan pada harga beli secara otomatis akan mengubah harga jual. tetapi argumentasi itu dibalas dengan keharusan tetapnya harga setelah akad dilakukan, untuk menghindari dua harga dalam satu akad (harga ketika akad ditandatangani dan harga setelah ada diskon), atau istilah fiqhnya bay'ataini fi bay'ah. Dengan kata lain diskon dari pemasok menjadi pendapatan bank. Pilihan ketiga nampaknya muncul dari kaidah ushul yang mengatakan keluar dari perbedaan pendapat itu disunnahkan, atau al kharaj min al khilaf mustahab. Karena itu potongan harga dibagi dua, nasabah mendapat pengurangan harga jual, sedangkan bank mendapatkan tambahan keuntungan. 

Mengapa hal ini jadi pembahasan serius ? sebab, ketiga pilihan itu melahirkan dampak setidaknya dari sisi akuntansi dan pemasaran bagi bank syariah. Konsekuensi pilihan pertama adalah bank harus melakukan revisi (pengurangan) pada keuntungan yang didapat, karena diskon itu harus diberikan kepada nasabah dalam bentuk potongan cicilan. Cicilan nasabah yang akan diterima bank karena itu akan mengalami perubahan, selain kemungkinan berpendeknya jangka waktu pembayaran. Sedangkan pilihan kedua menghasilkan pendapatan tambahan bagi bank yang bisa berarti pengurangan harga beli atau pun penambanhan keuntungan. Pilihan ketiga terjadi perubahan pada modal pembelian dan keuntungan bank.

Dari sudut pemasaran, pihak yang menerima akibat pilihan pertama adalah nasabah pembeli (pembiayaan). Nasabah ini dapat membayar lebih rendah dari yang sebelumnya diperkirakan. Bahkan menurut cerita, ketika barang dijual dengan harga pasar pun bank tetap mendapatkan keuntungan. Pilihan kedua memiliki efek kepada para nasabah yang menyimpan dananya secara mudharabah kepada bank, baik dalam bentuk deposito maupun tabungan. Jika diukur dari kedua akibat ini tentu pilihan yyang pertama akan lebih terasa. Sebab, nasabah pembeli (pembiayaan) umunya individu atau satu perusahaan. Sedangkan pada pilihan kedua jumlahnya ribuan. Ketika keuntungan akibat diskon ini dimasukan kedalam unsur pembagian keuntugan kepada deposito dan tabungan mudharabah, maka peningkatannya tidak signifikan. Demikian pula pada pilihan ketiga.

Atas dasar ini nampaknya pilihan yang diambil DSN adalah pertama sehingga fatwa yang kemudian ditetapkan dalam masalah ini menyebutkan bahwa potongan harga adalah milik nasabah (pembeli/pembiayaan)

Sumber: Buku "Belajar Mudah Ekonomi Islam", karya H. Cecep Maskanul Hakim, M.Ec. hal 80-82

Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam Perspektif Islam

Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam Perspektif Islam



Oleh : Gustani (Mahasiswa Akuntansi Syariah, STEI SEBI, Depok)
Allah berfirman :
“bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al Baqarah:177)
Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan pentingnya nilai-nilai sosial di masyarakat ketimbang hanya sekedar menghadapkan wajah kita ke barat dan ke timur dalam shalat. Tanpa mengesampingkan akan pentingnya shalat dalam Islam, Al Quran mengintegrasikan makna dan tujuan shalat dengan nilai-nilai sosial. Di samping memberikan nilai keimanan berupa iman kepada Allah SWT, Kitab-Nya, dan Hari Kiamat, Al Quran menegaskan bahwa keimanan tersebut tidak sempurna jika tidak disertai dengan amalan-amalan sosial berupa kepedulian dan pelayanan kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, dan musafir serta menjamin kesejahteraan mereka yang membutuhkan.
Dalam konteks ini, maka CSR dalam perspektif Islam adalah praktik bisnis yang memiliki tanggung jawab etis secara islami. Perusahaan memasukan norma-norma agama islam yang ditandai dengan adanya komitmen ketulusan dalam menjaga kontrak sosial di dalam operasinya. Dengan demikian, praktik bisnis dalam kerangka CSR Islami mencakup serangkaian kegiatan bisnis dalam bentuknya. Meskipun tidak dibatasi jumlah kepemilikan barang, jasa serta profitnya, namun cara-cara untuk memperoleh dan pendayagunaannya dibatasi oleh aturan halal dan haram oleh syariah (Suharto,2010). CSR dalam perspektif Islam menurut AAOIFI yaitu segala kegiatan yang dilakukan institusi finansial Islam untuk memenuhi kepentingan religius, ekonomi, hukum, etika, dan discretionary responsibilities sebagai lembaga fianansial intermediari baik bagi individu maupun institusi (Rizkiningsing,2012).
Menurut Islam, CSR yang dilakukan harus bertujuan untuk menciptakan kebajikan yang dilakukan bukan melalui aktivitas-aktivitas yang mengandung unsur riba, melainkan dengan praktik yang diperintahkan Allah berupa zakat, infak, sedekah, dan wakaf. CSR juga harus mengedepankan nilai kedermawanan dan ketulusan hati (Suharto,2010). Perbuatan ini lebih Allah cintai dari ibadah-ibadah mahdhah. Rasulullah SAW bersabda, “Memenuhi keperluan seorang mukmin lebih Allah cintai dari pada melakukan dua puluh kali haji dan pada setiap hajinya menginfakan ratusan ribu dirham dan dinar”.  Dalam hadis lain, Rasulullah SAW juga bersabda, “Jika seorang muslim berjalan memenuhi keperluan sesama muslim, itu lebih baik baginya daripada melakukan tujuh puluh kali thawaf di Baitullah.”
Selain itu, pelaksanaan CSR dalam Islam juga merupakan salah satu upaya mereduksi permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat dengan mendorong produktivitas masyarakat dan menjaga keseimbangan distribusi kekayaan di masyarakat. Islam mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang (Yusanto dan Yunus, 2009:165-169). Allah Berfirman : “....supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu...”  (QS. Al hasyr: 7).
Praktik CSR dalam Islam menekankan pada etika bisnis islami. Operasional  perusahaan harus terbebas dari berbagai modus praktik korupsi (fight agains corruption) dan memberi jaminan layanan maksimal sepanjang ranah operasionalnya,  termasuk layanan terpercaya bagi setiap produknya (provision and development of safe and reliable products).  Hal ini yang secara tegas tercantum dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman: “.... Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya,....” (QS. al-A’raf ayat 85).
Selain menekankan pada aktivitas sosial di masyarkat, Islam juga memerintahkan praktik CSR pada lingkungan. Lingkungan dan pelestarianya merupakan salah satu inti ajaran Islam. Prinsip-prinsip mendasar yang membentuk filosofi kebajikan lingkungan yang dilakukan secara holistik oleh Nabi Muhamad SAW adalah keyakinan akan adanya saling ketergantungan di antara makhluk ciptaan Allah. Karena Allah SWT menciptakan alam semesta ini secara terukur, baik kuantitatif maupun kualitatif (lihat QS. Al Qamar: 49) dan dalam kondisi yang seimbang (QS. Al hadid:7). Sifat saling ketergantungan antara makhluk hidup adalah sebuah fitrah dari Allah SWT. Dari prinsip ini maka konsekuensinya adalah jika manusia merusak atau mengabaikan salah satu bagian dari ciptaan Allah SWT, maka alam secara keseluruhan akan mengalami penderitaan yang pada akhirnya juga akan merugikan manusia (Sharing,2010). Allah SWT berfirman: “telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar.” (QS. Ar Rum:41)
Dari penjelasan diatas menunjukan bahwa Islam telah mengatur dengan begitu jelas tentang prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam CSR, padahal isu CSR baru dimulai pada abad ke-20. Bahkan dalam berbagai code of conduct yang dibuat oleh beberapa lembaga, Islam telah memberikan penjelasan terlebih dahulu. Misalnya, dalam draft ISO 26000,  Global Reporting Initiatives  (GRI),  UN Global Compact, International Finance Corporation  (IFC), dan lainnya telah menegaskan  berbagai instrumen indikator bagi pelaksanaan komitmen CSR perusahaan  demi pemenuhan target pembangunan berkelanjutan—seperti isu lingkungan  hidup, hak asasi manusia, praktik ketenagakerjaan, perlindungan konsumen, tata kelola perusahaan, praktik operasional yang adil, dan pengembangan masyarakat.  Dan bila ditilik lebih lanjut, sebenarnya prinsip-prinsip tersebut merupakan representasi berbagai komitmen yang dapat bersinergi dengan pengamalan prinsip kehidupan Islami (Sampurna,2007). 
OPTIMALISASI PERAN SARJANA EKONOMI SYARIAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING INDUSTRI KEUANGAN SYARIAH INDONESIA DI ERA MEA

OPTIMALISASI PERAN SARJANA EKONOMI SYARIAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING INDUSTRI KEUANGAN SYARIAH INDONESIA DI ERA MEA


OPTIMALISASI PERAN SARJANA EKONOMI SYARIAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING INDUSTRI KEUANGAN SYARIAH INDONESIA DI ERA MEA[1]
Oleh: Gustani, Suhada, dan Rumadi
STEI SEBI, Depok, 2012
Tujuan dari dibentuknya MEA adalah dalam rangka menjaga stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN, meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia, dan mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan serta meningkatkan standar hidup penduduk Negara Anggota ASEAN[2].  ASEAN kedepannya akan menjadi pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bebas, serta arus modal yang lebih bebas diantara Negara-negara ASEAN.
Jika MEA terealisasi pada tahun 2015 maka akan menempatkan ASEAN sebagai kawasan pasar terbesar ke-3 di dunia yang didukung oleh jumlah penduduk ke-3 terbesar (8% dari total penduduk dunia) didunia setelah China dan India. Pada tahun 2008 jumlah penduduk ASEAN sudah mencapai 584 juta jiwa[3]. Pertumbuhan ekonomi individu Negara ASEAN juga meningkat dengan stabilitas makro ekonomi ASEAN yang cukup terjaga dengan inflasi sekitar 3,5%[4]. Jumlah penduduk ASEAN yang begitu besar merupakan potensi luar biasa, apalagi 40% penduduk ASEAN berasal dari Indonesia, menjadikan Indonesia berpotensi untuk memimpin pasar ASEAN kedepannya.
Saat ini seluruh negara-negara ASEAN berpacu dengan waktu mempersiapkan diri untuk menghadapi era MEA di tahun 2015. Indonesia sendiri tidak dapat dipungkiri masih menjumpai berbagai permasalahan terkait persiapan menghadapi pemberlakuan MEA. Berdasarkan AEC Scorecard per 20 Oktober 2010, Indonesia menjadi negara dengan poin terendah (85,19%) di antara negara ASEAN lainnya. Selain itu, Indonesia tercatat masih tertinggal jauh dari negara ASEAN lainnya pada posisi 122 dari 185 negara dalam segi pelaksanaan usaha (Doing Business 2010, International Finance Corporation, World Bank). Sejumlah sektor potensial dalam negeri harus terus dipacu agar memberikan peningkatan yang cukup signifikan dan berperan dalam kontribusi pada perekonomian tataran ASEAN.

Potensi Industri Keuangan Syariah di Indonesia
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadikan Industri Keuangan Syariah Indonesia menjadi yang terbaik di level ASEAN maupun dunia. Yuslam Fauzi yang merupakan direktur Bank Syariah Mandiri (BSM), mengatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor pendukung Industri keuangan syariah di Indonesia[5].
1.      The Emerging Market.
The emerging market  merupakan sebutan untuk negara atau wilayah yang memiliki kecepatan pertumbuhan ekonominya jauh melebihi negara-negara yang ekonominya lebih maju.Menurut beberapa lembaga riset memprediksi bahwa negara-negara the emerging  market akan menguasai perekonomian dunia pada tahun 2030. Indonesia merupakan salah satu dianatar negara-negara the emerging market bersama Brasil, Rusia, India, dan Cina.
2.      Negeri dengan Populasi Muslim Terbesar di Dunia
Selain menjadi salah satu negara berpenduduk tertinggi di dunia, Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dari 237 juta jiwa total penduduk Indonesia, 86% atau 205 juta jiwa merupakan penduduk beragama Islam. Dengan jumlah ini menempatkan Indonesia menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar di Dunia.
3.      Kekayaan Alam yang Melimpah
Tak terbantahkan lagi bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Indonesia merupakan penghasil minayak sawit, karet, kopi, cokelat, dan hasil hutan lainnya. Indonesia juga merupakan penghasil pertambangan terbesar di dunia.
Saat ini Industri Keuangan Syariah di Indonesia telah menunjukan geliat pertumbuhan yang luar biasa. Tabel dibawah ini menunjukan jumlah Aset industri keuangan syariah di beberapa sektor tertentu. 

Tabel Aset Industri Keuangan Syariah Indonesia
No
Sektor
Jumlah
Nilai (Triliun)
1
Perbankan Syariah (Feb,2012)[6]



a. BUS
11
14.5

b. UUS
24


c. BPR
155
3.5
2
Pasar Modal Syariah (Mar,2012)[7]



a. Reksadana
50
5.3

b. Saham
253
3.9

c. Sukuk
30
5.4
3
Asuransi Syariah (2011)[8]
45
4.5




                   Sumber: diolah dari berbagai sumber
Di level Internasional, Industri keuangan Syariah di Indonesia merupakan salah satu yang terbaik. Berdasarkan Islamic Finance Country Index dari Global Islamic Finance Report tahun 2011 yang dikeluarkan oleh BMB Islamic – lembaga konsultan bisnis dan manajemen terkemuka yang berbasis di London, industri keuangan syariah Indonesia menduduki posisi ke-4 di dunia setelah Iran, Malaysia dan Arab Saudi. Posisi Indonesia berada diatas negara-negara yang selama dikenal terkemuka dalam pengembangan keuangan syariah, seperti Uni Emirat Arab, Kuwait, Pakistan, Bahrain dan Inggris[9]
Daftar Peringkat Industri Keuangan Syariah Dunia





Peran Sarjana Ekonomi Syariah
SDM merupakan elemen penting dalam menopang pertumbuhan sebuah industri. Pertumbuhan industri keuangan syariah di Indonesia tidaklah akan maksimal tanpa adanya dukungan dari SDM. Secara garis besar, peran strategis Sarjana ekonomi syariah dalam meningkatkan daya saing industri keuangan syariah di era MEA ada lima :
Pertama, peran sebagai pengayom masyarakat. Ekonomi Islam dengan segala instrumen pendukungnya merupakan sesuatu yang baru bagi masyarakat kita saat ini. Hanya sebagian kecil dari masyarakat yang kenal akan ekonomi syariah. oleh karena itu, disini peran sarjana ekonomi syariah dalam mengedukasi masyarakat. Memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa ekonomi syariah adalah solusi atas permasalahan ekonomi saat ini. Peran ini dapat dilakukan oleh sarjana ekonomi syariah melalui seminar, pelatihan, atau melalui ceramah-ceramah keagamaan di tengah masyarakat. Melalui peran ini, maka industri keuangan syariah semakin dikenal oleh masyarakat, sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
Kedua, peran sebagai tenaga pengajar.  Saat ini lembaga pendidikan yang membuka jurusan ekonomi syariah masih tergolong sedikit. padahal  Lembaga pendidikan dengan jurusan ekonomi syariah  merupakan pusat sentral pengembangan SDM dan tranformasi pemahaman ekonomi syariah[10]. selain itu, lembaga pendidikan merupakan sumber utama dalam menyuplai tenaga kerja di lembaga keuangan syariah. Ini merupakan tantangan bagi sarjana ekonomi syariah yang ada untuk berpartisipasi dalam mencetak sarjana-sarjana ekonomi syariah melalui lembaga pendidikan formal maupun non formal. Dengan kata lain, peran sarjana ekonomi syariah dibidang ini adalah sebagai pengajar, baik dosen di perguruan tinggi maupun guru di tingkat SLTP maupun SLTA. sarjana ekonomi syariah juga berkepentingan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Selain itu, tugas penelitian juga merupakan hal yang sangat penting. Sarjana ekonomi syariah dituntut untuk terus melakukan pengembangan keilmuan ekonomi syariah melalui riset-riset. Dari peran ini, akan lahir SDM ekonomi syariah baru yang siap bekerja di lembaga keuangan syariah. Hasil riset yang dilakukan dapat dijadikan rekomendasi bagi industri keuangan syariah dalam mengembangkan produknya.
Ketiga, peran  sebagai pemegang kebijakan. Aspek terpenting agar industri keuangan syariah dapat tumbuh dengan leluasa adalah karena faktor legal hukum yang jelas. Oleh karena itu, sarjana ekonomi syariah harus mampu menempati posisi-posisi penting dilembaga pemerintahan atau lembaga-lembaga ekonomi baik ditingkat nasional, ragional, maupun internasional. Dengan menempati posisi penting dilembaga yang memegang kebijakan ekonomi, maka sarjana ekonomi syariah dapat menentukan kebijakan-kebijakan yang pro dengan industri keuangan syariah, sehingga Industri keuangan syariah dapat tumbuh dan bersaing tanpa adanya proteksi. Beberapa lembaga pemerintah yang memegang kebijakan ekonomi, diantaranya Bank Indonesia (BI), Bapepam-LK, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Kementrian terkait lainya. 
Keempat, peran sebagai tenaga kerja. Idealnya tenaga kerja yang  bekerja di industri keuangan syariah adalah para sarjana ekonomi syariah. SDM ekonomi syariah merupakan SDM yang paling mengerti akan kekhasan dari industri keuangan syariah itu sendiri. Sarjana ekonomi syariah mengisi semua level managemen perusahaan. Dengan didukung oleh SDM ekonomi syariah yang kompeten, maka industri keuangan syariah akan memiliki warna tersendiri di masyarakat, sehingga industri keuangan syariah dipercaya ditengah masyarkat.
Kelima, peran sebagai entrepreneur. SDM ekonomi syariah haruslah juga menjadi pemain di berbagai industri yang ada. Disini peran SDM ekonomi syariah dapat di laksanakan dalam berbagai cara, diantaranya, SDM ekonomi syariah sebagai investor di industri keuangan syariah, SDM ekonomi syariah sebagai nasabah pembiayaan, dan lainnya.
Untuk melaksanakan lima peran diatas membutuhkan kesiapan sarjana ekonomi syariah yang maksimal, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan, antara lain;
Pertama,  perlunya pengembangan kurikulum pendidikan ekonomi syariah di lembaga pendidikan formal maupun non formal, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Kedua, perlunya sinergitas dari seluruh komponen industri keuangan syariah dan lembaga-lembaga ekonomi syariah dalam mensosialisasikan dan menyiapkan sarjana ekonomi syariah melalui seminar, lokakarya, simposium, pelatihan-pelatihan yang berkesinambungan.
Ketiga, perlunya kerjasama multilateral sarjana ekonomi syariah dengan negara-negara yang sudah maju dalam pengembangan industri keuangan syariah.
Keempat, perlu dibentuk lembaga sertifikasi sumber daya manusia yang berbasis syariah, sehingga melahirkan SDM ekonomi syariah yang berkualitas.
Kelima, perlunya komitmen pemerintah dalam pengembangan SDM-SDM yang berkualitas. Kerena mencerdaskan anak bangsa merupakan salah satu tugas utama pemerintah.
Penutup
SDM menempati posisi penting dalam pengembangan industri keuangan syariah. Sarjana ekonomi syariah merupakan salah satu bagian dari SDM yang sangat di butuhkan oleh industri keuangan syariah. oleh karena itu peran sarjana ekonomi syariah sangatlah dibutuhkan dalam meningkatkan pertumbuhan industri keuangan syariah Indonesia, agar dapat bersaing di pasar domestik, regional, dan internasional. 
Lima peran di atas merupakan wujud dari optimalisasi peran sarjana ekonomi syariah dalam meningkatkan daya saing industri keuangan syariah Indonesia.  Jika kelima peran di atas dapat dilaksanakan , maka hal ini akan dapat membantu pertumbuhan industri keuangan syariah di Indonesia untuk dapat bersaing di level ASEAN. Dengan potensi pasar domestik yang sangat besar, maka diperkirakan industri keuangan syariah Indonesia akan menjadi raja di level ASEAN. 













[1] Essay ini ditulis untuk mengikuti lomba Debate Competition Dinar Tazkia 2012, essay ini lolos ke babak selanjutnya.
[2] Kementrian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag-RI), “Menuju ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015”, (Kemendag-RI, Jakarta,2009)
[3] ASEAN Economic Community Chartbook, 2009
[4] Op.cit, Kemendag-RI
[5] Yuslam fauzi, Memaknai Kerja, Mizan, Bandung 2012. Hal 204-212
[6]Statistik Perbankan Syariah, Bank Indonesia, januari 2012. Lihat www.bi.go.id
[7] Statistik Pasar Modal Syariah, februari 2012. lihat www.bapepam.go.id
[9] Rifki ismal, “The Special Quality of Islamic Economics for Indonesian Economy”, disampaikan pada seminar Internasional Temu Ilmiah Nasional di UIN SUSKA Riau, Maret 2012
[10] Amirullah, Perguruan Tinggi: Pusat Pengembangan SDM dan Transformasi Pemahaman Ekonomi dan Perbankan Syariah
Etika Profesi Auditor dan Akuntan Syariah

Etika Profesi Auditor dan Akuntan Syariah

Etika Profesi Auditor dan Akuntan Syariah 
Oleh: Gustani (40109048) 

Abstrak
In their profession, Islamic Accountants and Auditors are required to run the ethics derived from Islamic law and other professional codes of ethics that does not conflict with Shari'a. This paper discusses professional ethics for islamic Accountants and auditors of Islamic financial institutions (IFI). This professional ethics formulated by the Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial (AAOIFI) based in Bahrain. The author also describes the principles of code that had been developed by IAI and IESBA as a comparison.
Key word: codes of ethics, AAOIFI, IFI

1.             Pendahuluan
Akhir-akhir ini isu terkait etika profesi dalam dunia bisnis mulai marak diperbincangkan. Hal ini mengingat akhir-akhir ini banyak kasus-kasus “kriminal” terjadi dalam dunia bisnis. Beberapa skandal keuangan perusahaan besar dunia antara lain Enron, WorldCom, Adelpia, Global Crossing, Qwest, Tyco, Xerox, Martha Stewart, Health South, Royal Ahold, Parmalat, The Mutual Funds. Kasus skandal audit yang paling menyita perhatian berbagai kalangan adalah kasus Enron pada tahun 2001 di Amerika Serikat. Dalam kasus Enron terjadi karena perilaku moral hazard oleh perusahaan Enron dan KAP Andersen. Diketahui perusahaan melakukan manipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan 600 juta Dollar AS padahal perusahaan mengalami kerugian. Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan perusahaan agar saham tetap diminati investor. Akibat skandal ini tingkat kepercayaan stakeholder turun drastis, perusahaan Enron kolap dan KAP Andersen dibatalkan izin operasinya (Kusmayadi, 2009). Bahkan peraih nobel ekonomi tahun 2001, Joseph E.Stiglitz dalam bukunya Dekade Keserakahan, menyebut Enron sebagai lambang segala kesesatan era 90-an: kerakusan korporasi, skandal akuntansi, hasutan publik, skandal perbankan, deregulasi, mantera pasar bebas.
Menurut beberapa pengamat, diantaranya Copeland skandal keuangan yang terjadi pada beberapa perusahaan besar dunia disebabkan kegagalan penerapan etika pada profesi auditor dan akuntan. Bahkan lima belas tahun yang lalu beliau pernah memberikan pandangan pada para partner dari Deloitte & Touche, bahwa ancaman terbesar bagi profesi akuntan publik adalah kemungkinan kehilangan konsensus dalam masyarakat kita mengenai standar etika yang berlaku. Karena auditor sangat bergantung pada kejujuran penyajian laporan keuangan dari klien, dan pada etika dan kompetensi dalam menjalankan profesinya (Reni,2006).
Sebenarnya kebutuhan akan penyusunan kode etik profesional setiap profesi merupakan tuntutan dari profesi itu sendiri. Setiap profesi membutuhkan kepercayaan dari masyarakat, dan umumnya msyarakat akan percaya pada profesi yang memiliki mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan anggota profesinya. Kepercayaan masyarakat akan mutu audit akan menjadi lebih tinggi jika profesi akuntan publik menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan audit yang dilakukan oleh anggota audit profesi tersebut (Mulyadi,2001).
Dalam dunia sekuler sumber kekuatan etika itu adalah berdasarkan rasio atau pemikiran manusia. Sehingga komitmen untuk penegakannya hanya terletak pada komitmen professional. Sedangkan dalam Islam, etika profesi akan dipaksa oleh syariat yang sumbernya dari Allah SWT. Akuntan dan auditor lembaga keuangan syariah wajib memenuhi kode etik yang bersumber dari ajaran Islam dan kode etik yang telah di tetapkan oleh standar audit lainya yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah (Harahap, 2008).
Saat ini perkembangan bisnis syariah mengalami pertumbuhan yang terus meningkat. Bahkan bisnis syariah sudah menjadi tren di masyarakat, hampir di semua sektor bisnis telah bermunculan layanan syariah. hal ini menunjukan adanya kepercayaan masyarakat akan bisnis syariah. Dengan hadirnya bisnis syariah di ruang publik ini menjadikan profesi akuntan dan auditor syariah sangat dibutuhkan. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat ini dibutuhkan profesi akuntan dan auditor yang memiliki mutu tinggi dalam kinerjanya dengan panduan-panduan etika syariah.   Makalah  ini akan membahas terkait kode etik profesi akuntan dan auditor untuk lembaga bisnis syariah. Etika profesi akuntan dan auditor yang penulis bahas hanya terbatas pada kode etik yang dibuat oleh AAOIFI dengan tambahan penjelasan dari berbagai standar kode etik audit yang dibuat oleh beberapa lembaga lainya.
2.             Etika Profesi
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), mendefinisikan etik sebagai (1) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; (2) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. sedang etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Etika menurut Dictionary of Acconting karangan Ibrahim Abdullah Assegaf, adalah sebagi disiplin pribadi dalam hubungannya dengan lingkungan yang lebih daripada apa yang sekedar ditentukan oleh Undang-undang.
Arens dan Loebbecke (1996) memberikan pengertian etika dengan suatu perangkat prinsip moral atau nilai. Sedangkan menurut Satyanugraha (2003) dalam Reni (2006) etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral dalam suatu masyarakat. dalam pengertian ini maka etika adalah sama artinya dengan moral.
Dalam Islam dikenal istilah Akhlak. Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Akhlak merupakan salah satu dari tiga cakupan agama Islam bersama Aqidah dan Ibadah. Dalam beberapa ayat al Quran, Allah banyak menyinggung masalah akhlak atau etika. Salah satu kode etik auditing dan akuntansi yang banyak disinggung adalah konsep Fairness atau keadilan. Disebutkan dalam al Quran surat An Nahl, ayat 90:
* ¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ  
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Surat An Nissa ayat 58:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”
Dalam pandangan Islam, profesi akuntan dan auditor adalah profesi yang diperlukan sebagai fardu kifayah[1]. Seorang akuntan dan auditor muslim dituntut untuk menjalani profesinya dengan akhlak yang baik utnuk memenuhi tujuan sebagai berikut:
a.            Untuk membantu mengembangkan kesadaran etika profesi dengan membawa perhatian mereka pada isu-isu etika yang terdapat dalam praktek profesi dan apakah setiap tindakan dapat dipertimbangkan sebagai perilaku yang beretika sesuai dengan sudut pandang syariah sebagai tambahan dari sekedar komitmen etika profesi yang normal.
b.           Untuk meyakinkan keakuratan dan keandalan laporan keuangan, sehingga dapat meningkatkan kredibilitas dan kepercayaan kepada jasa yang diberikan akuntan. Selain itu dapat meningkatkan perlindungan kepentingan baik inttitusi maupun pihak-pihak yang terkait dengan institusi tersebut.

3.             Etika Profesi Auditor dan Akuntan Syariah
3.1.       Prinsip Etika Auditor dan Akuntan
Berdasarkan code of ethics for professional Accountants yang ditetapkan oleh International Ethics Standards Board For Accountants (IESBA), setiap praktisi wajib mematuhi prinsip dasar etika profesi berikut ini (IAPI,2008) : (1) Prinsip Integritas, (2) Prinsip Objektivitas, (3) Prinsip Kompetensi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional, (4) Prinsip Kerahasiaan (5) Prinsip perilaku profesional.
Dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), prinsip etika profesi akuntan sebagai berikut: (1) Tanggung Jawab Profesi, (2) Kepentingan Publik, (3) Integritas, (4) Objektivitas, (5) kompetensi dan kehati-hatian profesional, (6) kerahasiaan, (7) perilaku profesi, dan (8) standar teknis.
3.2.       Kode Etik Aditor dan Akuntan Syariah
3.2.1   Struktur Kode Etik
AAOIFI merumuskan struktur kode etik akuntan dan auditor syariah untuk lembaga keuangan syariah kedalam tiga bagian. Bagian satu merupakan pondasi syariat dari kode etik akuntan dan auditor syariah, yang berupa dasar-dasar hukum dari kode etik itu sendiri. Bagian kedua merupakan prinsip etika akuntan dan auditor syariah yang yang berisi prinsip etika yang berlaku umum diambil dari dasar syariat dan kode etik profesional yang berlaku. Bagian tiga berupa aturan kode etik akuntan dan auditor syariah yang berisi apa yang seharusnya menjadi perilaku akuntan dan auditor syariah. Struktur kode etik profesi akuntan dan auditor syariah digambarkan berikut ini:
                   Gambar:
Right Arrow: Bagian satuRight Arrow: Bagian duaRight Arrow: Bagian tiga

Dasar: Ketentuan Syariah
Integritas, khalifah, ikhlas, taqwa, benar dan sempurna, pengawasan Allah, Akuntabilitas terhadap Allah
 

Prinsip Etika Akuntan dan Auditor
Dapat dipercaya, Legistimasi, Objektif, Kompetensi dan rajin, Dasar Iman, Perilaku Profesional dan standar teknik
 

Aturan Etika Akuntan dan Auditor Islam
 
                      Struktur Kode Etik AAOFI








                           Sumber: Harahap, 2008



3.2.2   Kode Etik  
Etika yang dalam konsep syariat Islam dikenal dengan Akhlak merupakan bagian yang terintegrasi dengan syariat islam itu sendiri, akhlak tidak dapat terpisah dari bagian Islam. Islam menempatkan akhlak atau etika pada posisi tertinggi dan merupakan tujuan dari Islam. Oleh karena itu, Islam mengatur berbagai aspek dalam kehidupan manusia dengan etika, termasuk profesi akuntan dan Auditor pun tidak terlepas dari pengaturan Islam.  AAOIFI membuat beberapa landasan Kode Etika akuntan dan auditor Syariah sebagai berikut :
a.           Prinsip Integritas
Auditor dituntut untuk memiliki kepribadian yang dilandasi oleh sikap jujur, berani, bijaksana, dan bertanggung jawab untuk membangun kepercayaan agar dapat memberikan dasar yang kuat untuk pengambilan keputusan. Bersikap dan bertindak jujur merupakan tuntutan untuk dapat dipercaya. Hasil pengawasan yang dilakukan auditor dapat dipercaya oleh pengguna apabila auditor dapat menjunjung tinggi kejujuran. Sikap jujur ini didukung oleh sikap berani untuk menegakkan kebenaran (bpkp,2008).
Islam menempatkan integritas sebagai nilai tertinggi yang memandu seluruh perilakunya. Islam juga menilai perlunya kemampuan, kompetensi dan kualifikasi tertentu untuk melaksanakan suatu kewajiban. Dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 26 disebutkan bahwa: “sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. Dan juga dalam hadits Rasulullah SAW: “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.” Dan juga: “Berikanlah kembali kepercayaan kepada mereka yang kamu percayai terhadapnya”. Yang paling penting dari sikap integritas adalah kepercayaan dan Islam selalu mensyaratkan perlunya jujur kepada Allah SWT, kepada masyarakat dan diri sendiri (harahap,2008)
b.             Prinsip Khalifah
Allah menciptakan manusia di bumi mengemban tugas yang cukup berat, yaitu sebagai khalifah atau pemimpin untuk memakmurkan bumi dan segala isinya. Sebagaimana firman Allah: “sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (Q.S Al Baqarah 30). “dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi” (Q.S Al An’am 165). “Dia telah menciptakan kamu dari tanah dan menjadikan kamu pemakmurnya” (Q.S Hud 61).
Kekhalifahan ini didasarkan pada prinsip yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi di bumi ini adalah Allah SWT dan kepemilikan manusia terhadap kekayaan yang di bumi ini bukanlah tujuan akhir tetapi sebagai sarana untuk menjalani kehidupan dirinya, keluarganya dan masyarakat. Manusia harus memperhatikan perintah dan larangan Allah selaku pemilik semua yang ada di bumi ini dalam penggunaannya sebab manusia akan dimintai pertanggungjawaban bagaimana ia menggunakan kekayaan itu.
c.               Prinsip Ikhlas (sincerity)
Landasan ini berarti bahwa akuntan harus mencari keridhaan Allah dalam melaksanakan pekerjaannya bukan mencari nama. Pura-pura, hipokrit dan berbagai bentuk kepalsuan lainnya. Menjadi ikhlas berarti akuntan tidak perlu tunduk pada pengaruh atau tekanan luar tetapi harus berdasarkan komitmen agama, ibadah dalam melaksanakan fungsi professinya. Tugas professi harus bisa dikonversikan menjadi tugas ibadah. Jika hal ini bisa diwujudkan maka tugas akuntan menjadi bernilai ibadah dihadapan Allah SWT disamping tugas professi yang berdimensi material dan dunia.
d.           Prinsip Taqwa (Piety)
Takwa adalah sikap ketakutan kepada Allah baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan sebagai slaah satu cara untuk melindungi dari akibat negative dan perilaku yang bertentangan dari syariah khususnya dalam hal yang berkaitan dengan perilaku terhadap penggunaan kekayaan atau transaksi yang cenderung pada kezaliman dan hal lain yang tidak sesuai dengan syariah. ketakwaan akan dapat diwujudkan bila kita mematuhi semua perintah dan menjauhi larangan Allah SWT. Allah berfirman dalam Al-Quran: “Hai-hai orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepadanya. (QS. Ali-Imran: 102). Dalam salah satu hadist, Rasulullah bersabda: “takutlah kepada Allah dimanapun kamu berada dan sertailah kejahatan dengan amal yang baik untuk menghapuskanya dan berhubunganlah dengan manusia dengan tingkah laku yang baik”
e.            Kebenaran dan bekerja secara sempurana
Akuntan tidak harus membatasi dirinya hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan professi dan jabatannya tetapi juga harus berjuang untuk mencari dan menegakkan kebenaran dan kesempurnaan tugas professinya dengan melaksanakan semua tugas yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baik dan sesempurna mungkin. Hal ini tidak akan bisa direalisir terkecuali melalui kualifikasi akademik, pengalaman praktek, dan pemahaman serta pengalaman keagamaan yang diramu dalam pelaksanaan tugas professinya. Sebagaimana Allah berfirman: “ Allah memerintahkan kamu berbuat adil dan berbuat baik” (Al An’am: 90). “dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik” (Q.S Al Baqarah 195). Dalam hadist Rasulullah bersabda: “Allah menyukai jika seseorang dari kamu bekerja dan melaksanakan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya”.
f.            Allah menyaksikan tingkah laku setiap orang
Seorang Akuntan atau Auditor meyakini bahwa Allah selalu melihat dan menyaksikan semua tingkah laku hambany-Nya dan selalu menyadari dan mempertimbangkan setiap tingkah laku yang tidak disukai Allah. Ini berarti bahwa seorang akuntan/auditor harus berperilaku”takut”kepada Allah tanpa harus menunggu dan mempertimbangkan apakah orang lain atau atasannya setuju atau menyukainya. Sikap ini merupakan sensor diri sehingga ia mampu bertahan terus-menerus dair godaan yang berasal dari pekerjaan professinya. Allah berfirman: “sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (An-Nisa 1). Dan “Maka apakah Tuhan menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya?” (Q.S Ar Raad 33)
g.             Manusia bertanggungjawab dihadapan Allah
Akuntan muslim harus meyakini bahwa allah selalu mengamati semua perilakunya dan dia akan mempertanggungjawabkan semua tingkah lakunya kepada Allah nanti dihari akhirat baik tingkah laku yang baik maupun yang besar. Karenanya akuntan harus berupaya untuk selalu menghindari pekerjaan yang tidak disukai oleh Allah SWT karena dia takut akan mendapat hukuman nantinya dihari akhirat. Sebagaimana firman Allah dalam QS Annisa ayat 6 dan QS Ali Imran ayat 199. Oleh karenanya akuntan/auditor eksternal atau internal harus selalu ingat bahwa dia akan mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya dihadapan Allah dan juga kepda public, professi, atasan dan dirinya sendiri.

3.2.3        Prinsip Etika
          Pada bagian kedua dari struktur kode etik yang dibuat AAOIFI  dijelaskan prinsip etika akuntan dan auditor yang berupa kode etik profesi sebagai berikut:
a.              Dapat dipercaya (trustworthinies)
Dapat dipercaya mencakup bahwa akuntan harus memiliki tingkat integritas dan kejujuran yang tinggi dan akuntan juga harus dapat menghargai kerahasiaan informasi yang diketahuinya selama pelaksanaan tugas dan jasa baik kepada organisasi atau langganannya.
b.             Legitimasi
Semua kegiatan professi harus yang dilakukannya harus memiliki legitimasi dari hukum syariah maupun peraturan dan perudang-undangan yan berlaku.
c.               Objektivitas
Akuntan harus bertindak adil, tidak memihak, bebas dari konflik kepentingan dan bebas dalam kenyataan maupun dalam penampilan.
d.             Kompetensi professi dan rajin
Akuntan harus memiliki kompetensi professional dan dilengkapi dengan latihan-latihan yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas dan jasa professi tersebut dengan baik.
e.              Perilaku yang didorong keimanan
Perilaku akuntan harus konsisten dengan keyakinan akan nilai islam yang berasal dari prinsip dan aturan syariah.
f.              Perilaku professional dan standar teknik
Akuntan harus memperhatikan peraturan professi termasuk didalamnya standar akuntansi dan auditing untuk lembaga keuangan syariah.

3.2.4   Aturan Prilaku Etika
          Pada bagian ketiga, dijelaskan aturan etika profesi akuntan dan auditor syariah. aturan ini harus dianggap sebagai persyaratan minimum yang harus dilaksanakan oleh akuntan dan auditor dalam melaksanakan jasa dan kewajiban profesinaya.  
a.             Peraturan perilaku yang didasarkan pada prinsip dapat dipercaya
      Akuntan harus melaksanakan kewajiban profesi dan jasa secara amanah, jujur, menjaga integritas dengan tingkat kualitas yang tinggi.
1)    Menyajikan dan menyampaikan segala informasi baik yang menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan dan menyampaikan pertimbangan professi secara benar dan dengan menerapkan transparan.
2)             Menjaga diri dari pengungkapan informasi rahasia yang diperoleh selama melaksanakan tugas dan jasa professi kepada sisapapun yang tidak berhak terkecuali diwajibkan oleh peraturan atau sesuai standar akuntansi dan auditing untuk lembaga keuangan syariah.
3)       Menjaga diri dari menggunakan  informasi rahasia yang diperoleh selama melaksanakan tugas untuk kepentingan pribadi atau kepenting pihak ketiga.
4)             Menjaga diri dari perilaku ang dilakukan secara aktif atau pasif yang akan membahayakan pencapaian tujuan etis dan agama lembaga atau organisasi.

b.             Peraturan perilaku yang didasarkan pada prinsip legitimasi agama
          Beberapa peraturan perilaku etis yang menyangkut prinsip legitimasi agama adalah:
1)          Akuntan harus melakukan tugas dan jasanya untuk kepentingan Allah SWT dengan sebaik mungkin dan mengutamakan pelaksanaan kewajiban itu di atas kepentingan yang lain dan meyakini bahwa dengan menunaikan tugas kepada Allah dengan sendirinya akan melepaskan tugas yang lainnya.
2)             Akuntan bertanggungjawab untuk selalu memperhatikan ketentuan dan prinsip syariah yang berkaitan dengan transaksi keuangan.
3)             Akuntan bertanggungjawab untuk memeriksa legitimasi agama dari semua kejadian yang dicatat atau diperiksa dengan memperhatikan prinsip dan hukum syariah yang ditetapkan oleh Alqur’an maupun Dewan Pengawas Syariah perusahaan.
4)         Akuntan bertanggungjawab untuk memenuhi prinsip dan peraturan syariah sebagaimana yang ditentukan oleh DPS yang memperhtikan landasan formal dan kerangka hukum syariah ketika memastikan bahwa semu transaksi, tindakan, dan perilaku secara umum selama pelaksanaan tugas dan jasa profesinya.
c.              Peraturan perilaku yng didasarkan pada prinsip objektivitas
          Akuntan bertanggungjawab untuk melindungi kebebasan profesinya baik dalam kenyataan maupun dalam penampilannya. Dengan demikian dia harus menghindari situasi yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan yang dapat mengancam netralitas dan keadilannya. Akuntan juga harus menjauhi dirinya dari pengaruh pihak lain, agar objektivitas pertmbangan profesinya dapat dipertahankan dan dia harus menghindari pemberian informasi yang tidak benar. Berdasarkan prinsip objektivitas ini, akuntan bertanggungjawab:
1)       Menolak semua jenis pemberian untuk kepentingan material atau kebaikan yang dapat mengancam objektivitas pertimbangan profesinya.
2)             Menghindari konflik yang dapat mengancam objektivitas pertimbangan profesinya.
3)             Menghindari situasi yang dapat merusak independensi profesinya baik dalam kenyataan maupun dalam penampilan seperti: memiliki sejumlah saham dalam perusahaan yang diaudit atau memiliki kepentingan keuangan dengan langganan atau lembaga lain yang berhubungan dengan langganan.
4)     Menghindari diri dari penugasan jasa professional lain sewaktu mengaudit suatu langganan untuk menghindari kehilangan objektivitas dalam melaksanakan audit laporan keuangan.
5)        Menghindari contigen fees (fee yang tergantung pada hasil pemeriksaan misalnya fee dihitung sekian persen dari laba usaha). Hal ini akan dapat merusak independensi dan objektivitas akuntan sewaktu melakukan tugas atau jasa profesi.
d.             Peraturan perilaku yang didasarkan pada prinsip kompetensi professional dan prinsip rajin
Akuntan bertanggungjawab mengabdi pada Allah SWT, masyarakat, profesi, atasan, langganan, dan dirinya dalam melaksanakan tugas dan jasa profesinya secara rajin dan benar. Peraturan dibidang ini adalah:
1)             Memilik tingkat pengetahuan yang cukup dan kemampuan profesi, pemahaman syariah yang berkaitan dengan dengan transaksi keuangan dan selalu menjaga kemampuannya melalui pengembangan keahlian terus menerus dalam bidang profesi teruatama mengikuti standar akuntansi dan auditing yang baru.
2)           Menjaga diri dari menerima penugasan professional terkecuali dia memiliki kompetensi atau staf atau system sehingga dapat melaksanakan tugas dan jasa itu.
3)             Melakukan pekerjaan professional dengan kualitas tinggi sesuai prinsip syariah dan aturan syariah.
4)     Mengembangkan rencana yang terpadu untuk melaksanakan kewajiban dan tugas dan mengikuti program yang didesain untuk meyakinkan terjaminnya control kualitas terhadap system dan bawahan dalam melaksanakan tugas profesinya.
5)       Meyakinkan bahwa laporan yang disajikan oleh akuntan intern lengkap, jelas, yang didukung oleh analisa dan informasi yang relevan dan terpercaya.
e.      Peraturan Perilaku yang didasarkan pada prinsip perilaku yang didorong keyakinan pada Allah
Dalam melaksanakan tugas dan jasa profesi tindakan dan perilaku akuntan harus konsisten dengan nilai agama yang diambil dari prinsip dan aturan syariah. Dijabarkan sebagai berikut:
1)             Secara tetap menyadari pengawasan dari Allah SWT.
2)             Secara tetap menyadari tanggung jawab di depan Allah SWT di hari akhirat nanti.
3)             Ikhlas dalam melaksanakan tugas dan jasa profesi dan menyadari keridhaan Allah SWT dan bukan untu mengabdikan kepada pihak selain Allah SWT.
4)             Melaksanakan dan menghargai semua perjanjian.
5)             Bekerjasama dengan pihak lain sehingga semua tugas dan jasa profesi dilaksanakan secara baik, lancar, dan efisien.
6)             Menunjukkan kasih saying dan persaudaraan demi keridhaan Allah dan memperluas kerjasama dan kepercayaan antara dia dan pihak yang berhubungan.
7)             Berlaku pemurah dan baik dalam berhubungan dengan pihak lain dan sabar dalam menangani semua masalah yang terjadi dalam praktek.
8)              Tunjukkan keteladanan bagi staf dan bawahan.
f.              Peraturan perilaku yang didasarkan atas prinsip professional dan standar teknis
Perilaku professional membutuhkan kepatuhan pada standar etika dan standar teknik tertinggi seperti standar akuntansi dan auditing untuk lembaga keuangan syariah dalam melaksanakan tugas dan jasa profesi. Dalam kaitan ini maka penjabaran peraturan kode etik ini adalah:
1)             Mematuhi standar akuntansi dan auditing untuk lembaga keuangan syariah yang berlaku.
2)             Melakukan tugas dan jasa profesi dengan rajin.
3)             Menjaga diri dari penugasan atau kegiatan yang akan membahayakan integritas, objektivitas, atau independensi dalam melaksanakan tugas dan jasa profesi yang akan mendekreditkan profesi dan mengancam kredibilitasnya. Hal ini mencakup:
4)             Menjaga diri dari tindakan memasarkan diri dan keahliannya dengan cara yang tidak dibenarkan oleh profesi atau bersifat memalukan.
5)             Menjauhkan diri dari melakukan klam berlebihan tentang jasa profesi yang dapat dilakukannya.
6)             Menjaga diri dari tindakan melecehkan pekerjaan akuntan lain.
7)             Menjaga diri dari memberikan komisi untuk mendapatkan penugasan dari langganan.
8)             Ketika diminta untuk menggantikan akuntan lain, akuntan baru harus memastikan alasan-alasan penggantian.



4.             Kesimpulan
          Islam menempatkan etika pada posisi yang sangat penting dalam ajarannya, karena etika adalah tujuan dari syariat Islam. Agama Islam dengan karakternya yang universal, telah mengatur segala aspek dalam hidup manusia. Bagi akuntan dan auditor syariah, etika profesi yang wajib dipatuhi bersumber dari syariat Islam dan kode etik lainya yang tidak bertentangan dengan syariat.
          AAOIFI sebagai lembaga standar akuntansi dan auditing untuk lembaga keuangan Islam telah membuat kode etik profesi akuntan dan auditor syariah. Kode etik ini akan menjadi acuan kerja para akuntan dan auditor dalam menjalankan tugasnya. Dengan bersumber dari nilai-nilai syariat, kode etik profesi akuntan dan auditor syariah akan memberikan kepercayaan kepada masyarakat, bahwa akuntan dan auditor syariah dapat terhindar dari praktek moral hazar.
5.             Referensi
AAOFI. (1998) Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution, state of Bahrain. www.aaoifi.com
Arens & Loebbecke (1996) Auditing Pendekatan Terpadu (Amir Abadi Yusuf, Penerjemah). Jakarta: salemba Empat.
BPKP. (2008) Kode Etik dan Standar Audit. Jakarta: Pusat Pendidikan dan pelatihan pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. http://pusdiklatwas.bpkp.go.id/filenya/namafile/298/KESA_Terampil.pdf
Harahap, S.S. (2008) Kerangka Teori dan Tujuan Akuntansi Syariah. Jakarta: Pustaka Quantum
Harahap,S.S. (2002) Auditing Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Pustaka Quantum
IAPI. (2008) Kode Etik Profesi Akuntan Publik. Jakarta: Institut Akuntan Publik Indonesia. http://hepiprayudi.files.wordpress.com/2011/09/kode-etik-profesi-akuntan-publik.pdf
IAI. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia. 8 nov 2012, akses di http://www.iaiglobal.or.id/tentang_iai.php?id=18
Kusmayadi,D. (2009) Kasus Enron dan KAP Arthur Andersen. 7 Nov 2012, diakses di http://uwiiii.wordpress.com/2009/11/14/kasus-enron-dan-kap-arthur-andersen/
Kode Etik Profesi Akuntan Islam. 7 Nov 2012, akses di http://supriakuntansisy.blogspot.com/2011/04/kode-etik-profesi-akuntan-islam.html
Mulyadi. (2001) Auditing. Jakarta: Penerbit Salemba
Reni,D. (2006) Etika Profesi Akuntan Dalam Pandangan Islam. September 9,2006. Lensa, Jurnal Universitas Pramita Indonesia.
Satyanugraha, H. (2003) Etika Bisnis: Prinsip dan Aplikasi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti
Stiglitz,E.J. (2006) Dekade Keserakahan (Aan Suhaeni, Penerjemah). Jakarta: Marjin Kiri



[1] Hukum menuntut ilmu umum adalah fardu kifayah. Fardu kifayah adalah kewajiban agama secara kolektif yang bila dilaksanakan oleh beberapa orang maka yang lainya terbebas dari kewajiban tersebut, namun bila tidak satu pun yang mengerjakanya, maka seluruh masyarakat muslim akan terkena dosa.

PRODUK & JASA

KOLOM SYARIAH

KEISLAMAN

SERBA SERBI

AKTIVITAS PELATIHAN

AUDITING

AKUNTANSI SYARIAH

SEPUTAR AKUNTANSI