Tiga Pilar Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia



Seiring perkembangan dunia bisnis yang semakin dinamis saat ini memerlukan dukungan infrastruktur yang memadai pula. Salah satunya adalah dukungan standar akuntansi keuangan yang mampu mencerminkan esensi dari entitas dunia usaha yang berlaku di Indonesia. Sejak berdiri hingga kini Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) selaku pihak yang berwenang mengeluarkan standar akuntansi keuangan di Indonesia secara aktif terus merespon kebutuhan dunia usaha dengan mengeluarkan standar-standar akuntansi. Hingga kini standar akuntansi keuangan di Indonesia terbagi ke dalam tiga pilar utama yang mencerminkan dunia usaha di Indonesia. Ketiga pilar itu adalah Standar Akuntansi Keuangan Umum (SAK Umum), Standar Akuntansi Keuangan Syariah (SAK Syariah), dan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP). 

1.      SAK Umum
Pada awalnya standar akuntansi keuangan di Indonesia hanya satu yaitu SAK 1 sampai 100 yang mengatur seluruh transaksi bisnis yang berlaku di Indonesia. Namun seiring perkembangan dunia usaha yang bergitu cepat menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian SAK yang berlaku. Selain itu tuntutan dunia usaha yang tidak lagi mengenal batas geografis antar Negara menuntut SAK yang berlaku untuk diseragamkan dengan SAK berlaku secara internasional. Pada tahun 2008 IAI memutuskan untuk melakukan konvergensi atau adopsi International Financial Reporting Standars (IFRS) ke SAK umum.
SAK umum merupakan standar akuntansi keuangan yang mengatur entitas yang memiliki akuntabilitas public yang signifikan, yaitu entitas yang terdaftar pada otoritas pasar modal dan entitas yang menguasai asset dalam kapasitas sebagai fidusia untuk sekelompok besar masyarakat, seperti bank, asuransi, pialang, dana pension, reksadana, dan bank investasi.

2.      SAK Syariah
Hadirnya entitas-entitas syariah di Indonesia melahirkan transaksi berbasis syariah yang memiliki karakteristik khas yang tidak sepenuhnya sesuai dengan beberapa konsep yang digunakan dalam SAK Umum. Sehingga menuntut perlunya standar akuntansi keuangan tersendiri untuk transaksi syariah. Menjawab kebutuhan ini, pada Mei 2002 DSAK IAI mengeluarkan PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah. PSAK ini mengatur transaksi syariah yang berlaku pada perbankan syariah seperti murabahah, salam, istisna’, mudharabah, musyarakah, wadiah, qardh, dan sharf.  Namun kehadiran entitas syariah lainnya seperti Asuransi Syariah, Lembaga Zakat, Lembaga Penjaminan Syariah, Pegadaian Syariah, dan lainnya menuntut hadirnya SAK yang mengatur entitas tersebut. Karena PSAK 59 diperuntukan bagi perbankan syariah, sehingga PSAK 59 tidak relevan untuk diterapkan pada entitas syariah lainnya.
Pada Juni tahun 2007 DSAK IAI mengesahkan SAK Syariah yang secara khusus mengatur akuntansi transaksi berbasis syariah baik yang dilakukan oleh entitas syariah maupun entitas umum. acuan transaksi berbasis syariah tersebut adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN MUI. SAK Syariah bukanlah SAK yang berdiri sendiri tapi melengkapi SAK umum yang berbasis IFRS dan SAK ETAP.
Hingga kini SAK Syariah yang telah disahkan berjumlah 11 PSAK yaitu:
1)      PSAK 59 Akuntansi Perbankan Syariah (sebagian paragraph sudah dicabut);
2)      PSAK 101 Penyajian Laporan Keuangan;
3)      PSAK 102 Akuntansi Murabahah;
4)      PSAK 103 Akuntansi Istisna’;
5)      PSAK 104 Akuntansi Salam;
6)      PSAK 105 Akuntansi Mudharabah;
7)      PSAK 106 Akuntansi Musyarakah;
8)      PSAK 107 Akuntansi Ijarah;
9)      PSAK 108 Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah;
10)  PSAK 109 Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah;
11)  PSAK 110 Akuntansi Sukuk;

3.      SAK ETAP
Berdasarkan data yang dirilis oleh kementrian koperasi dan UMKM terlihat bahwa perekonomian Indonesia hampir mencapai 99% didonimasi oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal ini mengindikasikan betapa vitalnya peran UMKM dalam perekonomian Indonesia, seperti terciptanya lapangan kerja, pemerataan pendapatan, dan pengentasan kemiskinan. Melihat pentingnya peran UMKM tersebut dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak agar potensi ini terus dikembangkan.
IAI dalam kedudukannya sebagai organisasi yang menyusun standar akuntansi keuangan di Indonesia merupakan unsure penting guna melahirkan standar akuntansi yang relevan untuk UMKM. Mengingat keterbatasan sumber daya UMKM dalam penyusunan laporan keuangan sesuai standar akuntansi berlaku umum, maka IAI memiliki kewajiban untuk menyusun standar akuntansi keuangan yang sesuai dengan karakteristik UMKM.
Pada Mei 2009 DSAK IAI mengesahkan SAK Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik atau SAK ETAP. SAK ETAP merupakan standar akuntansi yang berdiri sendiri dan tidak mengacu pada SAK umum, sebagaian besar menggunakan konsep biaya historis, mengatur transaksi yang umum dilakukan oleh UKM, bentuk pengaturan lebih sederhana dalam hal pengakuan, penyajian, dan pengungkapan, dan relative tidak berubah selama beberapa tahun. SAK ETAP diterapkan oleh entitas tanpa akuntabilitas public, yaitu entitas yang tidak memiliki akuntabilitas public signifikan dan menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum. SAK ini efektif berlaku sejak 1 januari 2011 dan penerapan dini diperkenankan.

Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
EmoticonEmoticon