Skandal Akuntansi Toshiba dan Tantangan Bisnis Lembaga Syariah (1)

Oleh: Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc (Dosen Senior STEI Tazkia)

REPUBLIKA.CO.ID. Skandal Akuntansi Toshiba baru-baru ini menggegerkan dunia profesi akuntansi. Betapa tidak, perusahaan yang telah berusia 140 tahun itu tiba-tiba kehabisan akal untuk mempertahankan kinerja keuangannya. Penggelembungan laba sebesar 151,8 miliar yen atau 1,22 miliar dolar AS ini yang awalnya ingin menciptakan investor’s confidence ternyata telah mencoreng nama besar Toshiba selama ini.

Kepala Eksekutif  Toshiba Corp dan kawan–kawannya bisa saja mengundurkan diri,tetapi skandal yang terjadi telah menghancurkan prestasi yang telah dicapai selama 140 tahun itu. Terlebih, profesi akuntansi dan auditor lagi–lagi dipertanyakan. Tidak cukup setelah kasus Enron tahun 2001 yang juga telah membohongi publik dengan menutupi kerugian sebesar 2 miliar dolar AS dengan menyatakan laba sebesar 600 juta dolar AS.


Mungkin masih terngiang di telinga para akuntan dan auditor tentang kasus Enron yang dianggap sebagai the biggest audit failure in the century, yang malangnya melibatkan Arthur Anderson salah satu the big five accounting firms saat itu. Setahun setelah itu dunia akuntansi dan audit dipaksa patuh kepada Sarbanes-Oxley Act/Sarbox/SOX yang memperketat lagi peraturan laporan keuangan bagi perusahaan publik maupun non-publik.

Tapi mengapa masih ada lagi fraud dimana–mana? Termasuk di Toshiba yang terkenal dipandu oleh prinsip-prinsip Komitmen Dasar Grup Toshiba "Berkomitmen untuk orang-orang, Komitmen untuk Masa Depan", Toshiba mempromosikan operasi global dengan mengamankan "Pertumbuhan Melalui Kreativitas dan Inovasi", dan memberikan kontribusi terhadap pencapaian dunia di mana orang-orang hidup dalam masyarakat aman, tenang dan nyaman. Ternyata hari ini masyarakat tidak aman, tenang, dan nyaman hanya karena Toshiba telah gagal menjalankan prinsip kebenaran dan tanggung jawab.

M. Jusuf  Wibisana, Partner KAP Tanudiredja, Wibisana, Rintis dan Rekan (PwC Indonesia) dan Ketua Dewan Standar Akuntansi Syariah – Ikatan Akuntan Indonesia mengatakan: “Dalam setiap audit, Management override control adalah presumed key risk. Prosedur untuk mendereksi kemungkinan terjadinya fraud yang berdampak material terhadap laporan keuangan harus dilakukan dengan benar untuk meminimalkan undetected management fraud. Bila prosedur ini dilakukan dengan benar, fraud, terutama yang berdampak material terhadap laporan keuangan, kemungkinan dapat dideteksi. Tapi auditor tidak boleh menjamin fraud akan selalu terdeteksi meski prosedur fraud detection sudah dilakukan dengan benar, karena audit selalu didasarkan sampling" demikian melalui pesan elektroniknya.

Apa pelajaran bagi bisnis syariah kita di tanah air? Apakah karena sudah mencantumkan prinsip syariah dalam operasional termasuk akuntansi, audit serta tata kelola, bisnis syariah akan lepas dari fraud? Jawabannya tidak! Kita masih ingat kasus penggelapan Rp 50 miliar di Bank Syariah Mandiri Cabang Bogor yang terkuak di awal tahun ini.
Ternyata dengan adanya sistem yang diorganisir dengan baik dengan koalisi orang luar dan dalam, sistem yang dipandu syariah terkulai tidak berdaya. Lantas apa yang harus dilakukan lagi? Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yang terpenting yaitu evaluasi sistem dan perbaikan SDM. Sistem akan semakin tangguh jika banyak dievaluasi dan diperbaiki secara berkala (continuous improvement).

Sistem yang menjunjung nama Islam harus dievaluasi dua dimensi dan lebih ketat lagi yaitu di ranah profesionalitas sebagai lembaga profesional dan yang terpenting yaitu sebagai lembaga Islami yang menjunjung nilai–nilai Islam. 

Terimakasih telah berkunjung ke blog Gustani.ID, Semoga bermanfaat !
EmoticonEmoticon