Menghitung Bagi Hasil iB

Menghitung Bagi Hasil iB

Berbagi hasil dalam bank syariah menggunakan istilah nisbah bagi hasil, yaitu proporsi bagi hasil antara nasabah dan bank syariah. Misalnya, jika customer service bank syariah menawarkan nisbah bagi hasil iB sebesar 65:35. Itu artinya nasabah bank syariah akan memperoleh bagi hasil sebesar 65% dari return investasi yang dihasilkan oleh bank syariah melalui pengelolaan dana-dana masyarakat di sektor riil. Sementara itu bank syariah akan mendapatkan porsi bagi hasil sebesar 35%. Bagaimana menghitung nisbah
bagi hasil tersebut?
Untuk produk pendanaan/simpanan bank syariah, misalnya Tabungan iB dan Deposito iB, penentuan nisbah
bagi hasil dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: jenis produk simpanan, perkiraan pendapatan investasi dan biaya operasional bank. Hanya produk simpanan iB dengan skema investasi (mudharabah) yang mendapatkan return bagi hasil. Sementara itu untuk produk simpanan iB dengan skema titipan
(wadiah), return yang diberikan berupa bonus.

Pertama-tama dihitung besarnya tingkat pendapatan investasi yang dapat dibagikan kepada nasabah.
Ekspektasi pendapatan investasi ini dihitung oleh bank syariah dengan melihat performa kegiatan ekonomi di
sektor-sektor yang menjadi tujuan investasi, misalnya di sektor properti, perdagangan, pertanian,
telekomunikasi atau sektor transportasi. Setiap sektor ekonomi memiliki karakteristik dan performa yang
berbeda-beda, sehingga akan memberikan return investasi yang berbeda-beda juga. Sebagaimana layaknya
seorang investment manager, bank syariah akan menggunakan berbagai indikator ekonomi dan keuangan
yang dapat mencerminkan kinerja dari sektoral tersebut untuk menghitung ekspektasi /proyeksi return
investasi. Termasuk juga indikator historis (track record) dari aktivitas investasi bank syariah yang telah
dilakukan, yang tercermin dari nilai rata-rata dari seluruh jenis pembiayaan iB yang selama ini telah diberikan
ke sektor riil. Dari hasil perhitungan tersebut, maka dapat diperoleh besarnya pendapatan investasi dalam
bentuk equivalent rate- yang akan dibagikan kepada nasabah misalnya sebesar 11%.
Selanjutnya dihitung besarnya pendapatan investasi yang merupakan bagian untuk bank syariah sendiri,
guna menutup biaya-biaya operasional sekaligus memberikan pendapatan yang wajar. Besarnya biaya
operasional tergantung dari tingkat efisiensi bank masing-masing. Sementara itu, besarnya pendapatan yang
wajar antara lain mengacu kepada indikator-indikator keuangan bank syariah yang bersangkutan seperti
ROA (Return On Assets) dan indikator lain yang relevan. Dari perhitungan, diperoleh bahwa bank syariah
memerlukan pendapatan investasi -yang juga dihitung dalam equivalent rate- misalnya sebesar 6 %.
Dari kedua angka tersebut, maka kemudian nisbah bagi hasil dapat dihitung. Porsi bagi hasil untuk nasabah dari kedua angka tersebut, maka kemudian nisbah bagi hasil dapat dihitung. Porsi bagi hasil untuk nasabah adalah sebesar: [11% dibagi (11%+6%)] = 0.65 atau sebesar 65%. Dan bagi hasil untuk bank syariah sebesar: [6% dibagi (11%+6%)] = 0.35 atau sebesar 35%. Maka nisbah bagi hasilnya kemudian dapat dituliskan sebagai 65:35.
Tentu saja dalam prakteknya nasabah iB tidak perlu terlalu pusing dengan perhitungan njlimet bagi hasil semacam ini. Masyarakat hanya tinggal menanyakan berapa rate indikatif dari Tabungan iB atau Deposito iB yang diminatinya. Rate indikatif ini adalah nilai equivalent rate dari pendapatan investasi yang akan dibagikan kepada nasabah, yang dinyatakan dalam persentase misalnya 11% atau 8% atau 12%. Jadi masyarakat dengan cepat dan mudah dapat menghitung berapa besar keuntungan yang akan diperolehnya dalam menabung sekaligus berinvestasi di bank syariah. Sangat mudah bukan?


Sumber:www.bi.go.id
Inspirasi Konektor Kebaikan dari Kisah Utsman bin Affan

Inspirasi Konektor Kebaikan dari Kisah Utsman bin Affan



Sebuah kisah menggugah di abadikan dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala ( Kisah para Tokoh Brilian) tentang kedermawanan Utsman bin Affan. Pada waktu itu rombongan kaum Muhajirin baru pada masa awal-awal hijrah mendiami Madinah. Kebutuhan air di kota tersebut pun meningkat pesat. Keterbatasan jumlah sumur sumber mata air menyebabkan air menjadi barang yang sangat mahal dan sulit dicari. Bahkan ada sebuah sumur milik seorang laki-laki dari Bani Ghifar, yang secara khusus menjual satu qirbah (kantong dari kulit) air dengan satu mud makanan atau setara dengan dua setengah liter. Orang-orang berdesakan mengantri untuk membeli air dari sumur tersebut, dengan makanan di tangan yang tak seberapa dan wajah diliputi kecemasan.

Melihat hal ini Rasulullah SAW merasakan keprihatian yang mendalam. Beliau mendekati sang pemilik Sumur dan menawarkan jual beli terbaik yang diimpikan hampir setiap mereka yang beriman . Beliau menawarkan : “ Maukah Anda menjual sumur itu kepadaku dengan ganti sebuah mata air di surga ? “. Laki-laki tadi tampak bingung untuk menerima atau menolak tawaran Rasulullah SAW. Mata air di surga tentulah dirindukan, namun ia sendiri melihat kondisi keluarganya yang kekurangan. Penghasilan dari sumur itu satu-satunya sementara ini yang bisa ia andalkan. Maka ia pun menyampaikan kepada Rasulullah SAW : “ ya Rasulullah, aku dan keluargaku tidak memiliki aset produktif lagi selain sumur itu ... “. Rasulullah SAW pun tak bisa berbuat banyak. Tawaran mata air di surga nampaknya saat itu bukan solusi efektif bagi mereka yang sedak kekurangan. Beliau berlalu dengan masih menyimpan kegelisahan.

Nampaknya tawaran Rasulullah SAW pada pemilik sumur itu di dengar oleh Utsman bin Affan, entrepreneur muda kaya raya nan mulia. Ia melihat peluang kebaikan terbentang di hadapan, dan segera menyambutnya dengan cepat. Di datangi laki-laki pemilik sumur dari bani Ghifar itu, lalu tanpa ragu Utsman menawarkan untuk membeli sumur itu dengan harga kontan sebesar 35.000 dirham. Jumlah yang setara pada hari ini mencapai 2,5 Milyar. Bapak tadi menyetujui harga tersebut, nampaknya ia mendapatkan modal yang cukup untuk memulai usaha lain demi keperluan keluarganya.Nah, apa yang dilakukan sahabat mulia Ustman bin Affan ?. Hak kepemilikan sumur itu kini ada di tangannya. Tapi ia tak langsung mengumumkan kepada khalayak ramai baik untuk mewakafkan ataupun menjual airnya dengan ganti satu mud makanan sebagaimana pemiliknya terdahulu. Utsman bin Affan segera menemui Rasulullah untuk sebuah kepentingan bisnis juga, kali ini bisnis investasi akhirat dengan keuntungan berlipat-lipat.

Dihadapan Rasulullah SAW, dengan malu-malu sebagaimana ia dikenal, Utsman bin Affan bertanya memastikan diri, “ Ya Rasulullah, apakah tawaranmu kepada pemilik sumur  tadi juga berlaku ? “. Nampaknya Utsman sedikit khawatir apakah tawaran ganti sumur tadi dengan mata air di surga itu berlaku juga untuknya atau hanya pada sang pemilik awal dari bani Ghifar. Mendengar hal ini Rasulullah SAW langsung mengiyakan : “ Betul ! “. Tawaran mulia itu masih berlaku, Ustman bin Affan bahagia bukan kepalang, karena sebuah mata air di surga kini ada dalam genggaman dengan jaminan dari Rasulullah SAW. Maka ia pun bersegera menyatakan : “ Sumur itu kini aku jadikan untuk kepentingan kaum muslimin “. Beliau sukses mewakafkan sumur yang berlimpah air itu, menjualnya dengan mata air di surga. 

Sahabat Indonesia yang optimis, tentu banyak pelajaran dan inspirasi yang bisa kita ambil. Salah satunya adalah kedermawanan dan kecerdasan Utsman bin Affan yang mulia. Ia pandai menangkap peluang kebaikan dan bersegera untuk mewujudkannya. Pelajaran lain yang tak kalah berharga adalah bagaimana Rasulullah SAW sang pemimpin mulia memahami kondisi rakyatnya. Ia gelisah dengan kekurangan air yang melanda, namun beliau juga memahami kondisi keuangan sang pemilik sumur yang tak punya penghasilan lain selain menjual air dari sumurnya. Sangat manusiawi bagi mereka yang kekurangan, janji manis akhirat terkadang tak bisa menyentuh hati sedikitpun, karena kebutuhan di hadapan mata yang sudah sangat mendesak. Karenanya bagi para da’i, semestinya juga memahami, bukan saja memberi iming-iming surga, namun juga bergerak solutif menyelesaikan masalah di tengah masyarakat.  Peran Rasulullah SAW sangat luar biasa dalam hal ini, beliau tidak memiliki harta untuk membeli sumur tersebut, tetapi beliau memberikan inspirasi dan motivasi bagi sahabat yang berharta untuk melakukannya. Menjadi konektor kebaikan, demikian istilah yang saat ini mulai ramai terdengar.

Anda dan saya mungkin tak berlebih harta atau tak banyak bisa membantu keprihatinan disekitar kita, namun kita menjadi fasilitator bagi yang lainnya, para dermawan, untuk menyalurkan infak dan sedekah pada mereka yang membutuhkan ...

Islamic Social Reporting Index (Indeks ISR) Bagian dari Kerangka Syariah

Islamic Social Reporting Index (Indeks ISR) Bagian dari Kerangka Syariah



Sebelum membahas Islamic Social Reporting (selanjutnya ISR), akan dibahas tentang kerangka syariah (the sharia framework) (untuk gambar kerangka syariah dapat dilihat dalam tulisan Haniffa, 2002, yang berjudul “Social Reporting Disclosure: An Islamic Perspective”) terlebih dahulu. Kerangka syariah pertama kali digagas oleh Haniffa dan Hudaib (2000), lalu dikembangkan oleh Haniffa (2002) menjadi landasan dasar atas terbentuknya ISR yang komprehensif. Kerangka syariah ini akan menghasilkan aspek-aspek material, moral, dan spiritual dalam pelaporan ISR perusahaan (Raditya,2012).  
         
Dalam kerangka syariah, tauhid merupakan pondasi dari ajaran Islam. Secara bahasa, tauhid berasal dari kata Ahad, yang artinya satu, tunggal, esa. Sedang secara istilah, tauhid memiliki makna yakin bahwa Allah SWT adalah esa dan tdak ada sekutu bagi-Nya dalam rububiyah (ketuhanan), uluhiyah (Ibadah), asma’ (nama-nama), dan sifat-sifat-Nya. Dengan tauhid menunjukan bahwa alam semesta ini satu dan bahwa kesatuan seluruh isi dan tatanannya ekonomi, politik, sosial, maupun lingkungan di alam semesta ini diikat oleh sebuah inti. Inti itu adalah Tauhid (QS. Thaha: 53-54). Wujud dari tauhid adalah syahadat. Yaitu pengakuan akan keesaan Allah SWT yang diyakini dalam hati, dibenarkan dengan lisannya, dan dibuktikan dengan amal perbuatan nyata. Syahadat menjadi salah satu rukun Islam dan merupakan syarat utama seseorang masuk agama Islam (Sharing,2010). Orang yang mengucapkan syahadat akan menerima konsekwensi dari tauhid berupa kewajiban untuk tunduk terhadap segala hukum Allah SWT yang bersumber dari Al Quran, hadist, fikih, dan sumber lainya seperti Qias, Ijtihad, dan Ijma. Tujuan dari hukum syariah ini adalah untuk menegakkan keadilan sosial dan mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat (al falah) (Haniffa,2002).  

Kemudian hukum syariah ini akan menjadi dasar terbentuknya konsep etika dalam Islam. Secara umum, etika dalam Islam terdiri dari sepuluh etika yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Kesepuluh konsep etika tersebut adalah iman (faith), taqwa (piety), amanah (trust), ibadah (workship), khilafah (vicegerent), ummah (community), keyakinan akan datangnya hari kiamat (akhirah day of reckoning), adl (justice) dan zulm (tyrnny), halal (allowable) dan haram (forbidden), serta i’tidal (moderation) dan israf (extravagance). Etika ini akan menjadi landasan manusia dalam melakukan aktivitas politik, ekonomi, dan sosial. ISR berada pada lingkup aktivitas ekonomi, khususnya aspek akuntansi. Dengan demikian, ISR merupakan bagian dari kerangka syariah.  

(Diambil dari Skripsi saya yang berjudul Analisis Tingkat Pengungkapan Kinerja Sosial Bank Syariah Berdasarkan Islamic Social Reporting Index (Indeks ISR))
Alhamdulillah Tepat Disemester 7... S.E.I Diraih

Alhamdulillah Tepat Disemester 7... S.E.I Diraih



Alhamdulillah.... tepat di tanggal 21 Januari 2013 dinyatakan LULUS dalam sidang skripsi dan tanggal 23 Januari 2013 dinyatakan LULUS dalam sidang kompre. Alhamdulillah saya mampu menyelesaikan kuliah S1 prodi Akuntan si Syariah di STEI SEBI, Depok, tepat di semester 7. Perjuangan panjang dan penuh kerja keras dilewati selama 3,5 tahun terbayar sudah dengan lulus lebih cepat. Skripsi yang saya ajukan dalam meraih gelar Sarjana Ekonomi Islam dengan judul Analisis Tingkat Pengungkapan Kinerja Sosial Bank Syariah Berdasarkan Islamic Social Reporting Index (Indeks ISR), dengan pembimbing Pak Sigit (ketua STEI SEBI) dan Bu Ai sedang penguji dalam sidang skripsi adalah Pak Dadang, Bu Dede, dan Pak Luthfi.

Atas keberhasilan ini melalui blog yang sederhana ini saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam perjalanan panjang meraih gelar ini, semoga kebaikan kalian dibalas Allah dengan berlipat ganda.
  • Bapak Sigit Pramono, SE., Ak., MSACC dan Ibu Ai Nur Bayinah., SEI., MM selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, bimbingan, motivasi, serta arahan selama penulisan skripsi ini.
  • Bapak Sigit Pramono, SE., Ak., MSACC selaku ketua STEI SEBI
  • Bapak Azis Budi Setiawan, SEI., MM selaku Wakil Ketua I Bidang Akademik STEI SEBI.
  • Bapak Sepky Mardian, SEI., MM selaku Ketua Prodi Akuntansi Syariah STEI SEBI.
  • Bapak/Ibu dosen yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan selama penulis menuntut ilmu di STEI SEBI serta staf Akademik, Perpustakaan, dan kemahasiswaan.
  • Kedua orang tuaku tercinta, Ayah Fauzi (alm) dan Ibu Fatimah yang telah memberikan segala kasih sayang, do’a, semangat, dukungan, dan nasihat yang tak pernah usai. Kedua orang tua asuhku, Abi Udjang Kurnia Zaenudin, S.Pd, M.Pd dan Ummi Yeni Nuraeni (almh), terima kasih atas bimbingannya.
  • Adikku tersayang Eko Demi Anto dan kakak-kakakku: long Syamsuri, ngah Tebam, bang Ramli, bang Pian, mok Udang, kak Santi, kak Ijah, dan kak Intan.

  • sahabat seperjuangan  kelas AS A 09: Faiq, Jamil, Malik, Topik, Suhada, Fikriyan, Azizah, Lili, Dini, Nurdini, Eliza, Ummu, Khonsa, Rachmah, Pupu, Alfik, Summi, Cici, Uus, Uswah, Elva, Dalili. Terima kasih atas kebersamaannya dan tetap semangat untuk menggapai cita-cita.

  • Temen-temen sekosan sekaligus adik tingkat di STEI SEBI: Mukmin, Hafiz, Alif, dan Hendri.
  • Teman-teman MMM STEI SEBI masa amanah 2012-2013: Bayu, Apriadi, Mumtaz, Iswahyudi, Nita, Elly, Devi, Farida, Fitri, Dini S, dan Galuh. Adik-adik di ORMAWA STEI SEBI dan teman-teman HIMAPAS.
  • Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih banyak.
Islamic Social Reporting (ISR) sebagai Model Pelaporan CSR Institusi Bisnis Syariah

Islamic Social Reporting (ISR) sebagai Model Pelaporan CSR Institusi Bisnis Syariah

Saya sedang menjalani sidang Skripsi di STEI SEBI di awal tahun 2013


Oleh : Gustani, SEI.,M.Ak.,SAS

ISR pertama kali digagas oleh Ross Haniffa pada tahun 2002 dalam tulisannya yang berjudul “Social Reporting Disclosure: An Islamic Perspective”. ISR lebih lanjut dikembangkan secara lebih ekstensif oleh Rohana Othman, Azlan Md Thani, dan Erlane K Ghani pada tahun 2009 di Malaysia dan saat ini ISR masih terus dikembangkan oleh peneliti-peneliti selanjutnya. Menurut Haniffa (2002) terdapat banyak keterbatasan dalam pelaporan sosial konvensional, sehingga ia mengemukakan kerangka konseptual ISR yang berdasarkan ketentuan syariah. ISR tidak hanya membantu pengambilan keputusan bagi pihak muslim melainkan juga untuk membantu perusahaan dalam melakukan pemenuhan kewajiban terhadap Allah dan masyarakat. 
ISR adalah standar pelaporan kinerja sosial perusahaan-perusahaan yang berbasis syariah. Indeks ini lahir dikembangkan dengan dasar dari standar pelaporan berdasarkan AAOIFI yang kemudian dikembangkan oleh masing-masing peneliti berikutnya. Secara khusus indeks ini adalah perluasan dari standar pelaporan kinerja sosial yang meliputi harapan masyarakat tidak hanya mengenai peran perusahaan dalam perekonomian, tetapi juga peran perusahaan dalam perspektif spiritual. Selain itu indeks ini juga menekankan pada keadilan sosial terkait mengenai lingkungan, hak minoritas, dan karyawan (Fitria dan Hartati, 2010). 

Bentuk Akuntabilitas dan Transparansi dalam ISR
Tujuan ISR:
-       Sebagai bentuk akuntablitas kepada Allah SWT dan masyarakat
-       Meningkatkan transparansi kegiatan bisnis dengan menyajikan informasi yang relevan dengan memperhatikan kebutuhan spiritual investor muslim atau kepatuhan syariah dalam pengambilan keputusan.
Bentuk Akuntabilitas:
1.        Menyediakan prduk yang halal dan baik
2.        Memenuhi hak-hak Allah dan masyarakat
3.        Mengejar keuntungan yang wajar sesuai dengan prinsip Islam
4.        Mencapai tujuan usaha bisnis
5.        Menjadi karyawan dan masyarakat
6.        Memastikan kegiatan usaha yang berkelanjutan secara ekologis
7.        Menjadikan pekerjaan sebagai bentuk ibadah

Bentuk Transparansi:
1.     Memberikan informasi mengenai semua kegiatan halal dan haram dilakukan
2.     Memberikan informasi yang relevan mengenai pembiayaan dan kebijakan investas
3.     Memberikan informasi yang relevan mengenai kebijakan karyawan
4.     Memberikan informasi yang relevan mengenai hubungan dengan masyarakat
5.     Memberikan informasi yang relevan mengenai penggunaan sumber daya dan perlindungan lingkungan

Sumber: diolah dari Haniffa (2002), 2013

 Indeks ISR

Indeks ISR adalah item-item pengungkapan yang digunakan sebagai indikator dalam pelaporan kinerja sosial institusi bisnis syariah. Haniffa (2002) membuat lima tema pengungkapan Indeks ISR, yaitu Tema Pendanaan dan Investasi, Tema Produk dan Jasa, Tema Karyawa, Tema Masyarakat, dan Tema Lingkungan Hidup. Kemudian dikembangkan oleh Othman et al (2009) dengan menambahkan satu tema pengungkapan yaitu tema Tata Kelola Perusahaan.
Setiap tema pengungkapan memiliki sub-tema sebagai indikator pengungkapan tema tersebut. Beberapa peneliti Indeks ISR sebelumnya memiliki perbedaan dalam hal jumlah sub-tema yang digunakan, tergantung objek penelitian yang digunakan.

1. Pendanaan dan Investasi (Finance & Investment)

Konsep dasar pada tema ini adalah tauhid, halal & haram, dan wajib. Beberapa informasi yang diungkapkan pada tema ini menurut Haniffa (2002) adalah praktik operasional yang mengandung riba, gharar, dan aktivitas pengelolaan zakat. Sakti (2007) menjelaskan bahwa secara literatur riba adalah tambahan, artinya setiap tambahan atas suatu pinjaman baik yang terjadi dalam transaksi utang-piutang maupun perdagangan adalah riba. Kegiatan yang mengandung riba dilarang dalam Islam, sebagaimana ditegaskan Allah dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 278-279. Salah satu bentuk riba di dunia perbankan adalah pendapatan dan beban bunga.
Kegiatan yang mengandung gharar pun merupakan yang terlarang dalam Islam. Gharar adalah situasi dimana terjadi incomplete information karena adanya uncertainty to both parties. Praktik gharar dapat terjadi dalam empat hal, yaitu kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan. Contoh transaksi modern yang mengandung riba adalah transaksi lease and purchace, karena adanya ketidak jelasan antara transaksi sewa atau beli yang berlaku (Karim, 2004). Bentuk lain dari gharar adalah future on delivery trading atau margin trading, jual-beli valuta asing bukan transaksi komersial (arbitage baik spot maupun forward, melakukan penjualan melebihi jumlah yang dimiliki atau dibeli (short selling), melakukan transaksi pure swap, capital lease, future, warrant, option, dan transaksi derivatif lainnya (Arifin,2009).
Aspek lain yang harus diungkapkan oleh entitas syariah adalah praktik pembayaran dan pengelolaan zakat. Entitas syariah berkewajiban untuk mengeluarkan zakat dari laba yang diperoleh, dalam fikh kontemporer di kenal dengan istilah zakat perusahaan. Berdasarkan AAOIFI, perhitungan zakat bagi entitas syariah dapat menggunakan dua metode. Metode pertama, dasar perhitungan zakat perusahaan dengan menggunakan metode net worth (kekayaan bersih). Artinya seluruh kekayaan perusahaan, termasuk modal dan keuntungan harus dihitung sebagai sumber yang harus dizakatkan. Metode kedua, dasar perhitungan zakat adalah keuntungan dalam setahun (Hakim,2011). Selain itu bagi bank syariah berkewajiban untuk melaporkan laporan sumber dan penggunaan dana zakat selama periode dalam laporan keuangan. Bahkan jika bank syariah belum melakukan fungsi zakat secara penuh, bank syariah tetap menyajikan laporan zakat (PSAK 101, 2011).
Pengungkapan selanjutnya yang merupakan penambahan dari Othman et al (2009) adalah kebijakan atas keterlambatan pembayaran piutang dan kebangkrutan klien, neraca dengan nilai saat ini (Current Value Balance Sheet ), dan laporan nilai tambah (Value added statement). Terkait dengan kebijakan atas keterlambatan pembayaran piutang dan kebangkrutan klien Untuk meminimalisir resiko pembiayaan, Bank Indonesia mengharuskan bank untuk mencadangkan penghapusan bagi aktiva-aktiva produktif yang mungkin bermasalah, praktik ini disebut pencadangan penghapusan piutang tak tertagih (PPAP). Dalam fatwa DSN MUI ditetapkan bahwa pencadangan harus diambil dari dana (modal/keuntungan) bank. Sedang menurut AAOIFI, pencadangan disisihkan dari keuntungan yang diperoleh bank sebelum dibagikan ke nasabah. Ketentuan PPAP bagi bank syariah juga telah diatur dalam PBI No.5 Tahun 2003.
Pengungkapan lainya adalah Neraca menggunakan nilai saat ini (current value balance sheet/CVBS) dan laporan nilai tambah (value added statement/VAS). Menurut Nurhayati dan Wasilah (2009) metode CVBS digunakan untuk mengatasi kelemahan dari metode historical cost yang kurang cocok dengan perhitungan zakat yang mengharuskan perhitungan kekayaan dengan nilai sekarang. Sedang VAS menurut Harahap (2008) adalah berfungsi untuk memberikan informasi tentang nilai tambah yang diperoleh perusahaan dalam periode tertentu dan kepada pihak mana nilai tambah itu disalurkan. Dua sub-tema ini tidak digunakan dalam penelitian ini, karena belum diterapkan di Indonesia.
Menurut Haniffa dan Hudaib (2007) aspek lain yang perlu diungkapkan pada tema ini adalah jenis investasi yang dilakukan oleh bank syariah dan proyek pembiayaan yang dijalankan. Aspek ini cukup diungkapkan secara umum.

2. Produk dan Jasa (Products and Services)

Menurut Othman et al (2009) beberapa aspek yang perlu diungkapkan pada tema ini adalah status kehalalan produk yang digunakan dan pelayanan atas keluhan konsumen. Dalam konteks perbankan syariah, maka status kehalalan produk dan jasa baru yang digunakan adalah melalui opini yang disampaikan oleh DPS untuk setiap produk dan jasa baru.
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan independen yang ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) pada bank syariah. Anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah dan pengetahuan umum bidang perbankan. Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha bank agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh DSN. DPS juga memiliki fungsi sebagai mediator antara bank dan DSN dalam pengkomunikasian dalam pengembangan produk baru bank syariah. oleh karena itu, setiap produk baru bank syariah harus mendapat persetujuan dari DPS (Wiroso,2009). Hal ini penting bagi pemangku kepentingan Muslim untuk mengetahui apakah produk bank syariah terhindar dari hal-hal yang dilarang syariat.
Selain itu pelayanan atas keluhan nasabah harus juga menjadi prioritas bank syariah dalam rangka menjaga kepercayaan nasabah. Saat ini hampir seluruh bisnis mengedepankan aspek pelayanan bagi konsumen atau nasabah mereka. Karena pelayanan yang baik akan berdampak pada tingkat loyalitas nasabah.
Hal lain yang harus diungkapkan oleh bank syariah menurut Haniffa dan Hudaib (2007) adalah glossary atau definisi setiap produk serta akad yang melandasi produk tersebut. Hal ini mengingat akad-akad di bank syariah menggunakan istilah-istilah yang masih asing bagi masyarakat, sehingga perlu informasi terkait definisi akad-akad tersebut agar mudah dipahami oleh pengguna informasi.

3. Karyawan (Employees)

Dalam ISR, segala sesuatu yang berkaitan dengan karyawan barasal dari konsep etika amanah dan keadilan. Menurut Haniffa (2002) dan Othman dan Thani  (2010) memaparkan bahwa masyarakat Muslim ingin mengetahui apakah karyawan-karyawan perusahaan diperlakukan secara adil dan wajar melalui informasi-informasi yang diungkapkan. Beberapa informasi yang berkaitan dengan karyawan menurut  Haniffa (2002) dan Othman et al (2009) diantaranya jam kerja, hari libur, tunjangan untuk karyawan, dan pendidikan dan pelatihan karyawan.
Beberapa aspek lainya yang ditambahkan oleh Othman et al (2009) adalah kebijakan remunerasi untuk karyawan, kesamaan peluang karir bagi seluruh karyawan baik pria maupun wanita, kesehatan dan keselamatan kerja karyawan, keterlibatan karyawan dalam beberapa kebijakan perusahaan, karyawan dari kelompok khusus seperti cacat fisik atau korban narkoba, tempat ibadah yang memadai, serta waktu atau kegiatan keagamaan untuk karyawan. Selain itu, Haniffa dan Hudaib (2007) juga menambahkan beberapa aspek pengungkapan berupa kesejahteraan karyawan dan jumlah karyawan yang dipekerjakan.

4. Masyarakat (Community Involvement)

Konsep dasar yang mendasari tema ini adalah ummah, amanah, dan ‘adl. Konsep tersebut menekankan pada pentingnya saling berbagi dan saling meringankan beban masyarakat. Islam menekankan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong antar sesama. Bentuk saling berbagi dan tolong-menolong bagi bank syariah dapat dilakukan dengan sedekah, wakaf, dan qard. Jumlah dan pihak yang menerima bantuan harus diungkapkan dalam laporan tahuanan bank syariah. Hal ini merupakan salah satu fungsi bank syariah yang diamanahkan oleh Syariat dan Undang-Undang.
Beberapa aspek pengungkapan tema masyarakat yang digunakan dalam penelitian ini adalah  sedekah, wakaf, dan pinjaman kebajikan (Haniffa,2002). Sedang beberapa aspek lainya yang dikembangkan oleh Othman et al (2009) diantaranya adalah sukarelawan dari kalangan karyawan, pemberian beasiswa pendidikan, pemberdayaan kerja para lulusan sekolah atau mahasiswa berupa magang, pengembangan generasi muda, peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat miskin, kepedulian terhadap anak-anak, kegiatan amal atau sosial, dan dukunga terhadap kegiatan-kegiatan kesehatan, hiburan, olahraga, budaya, pendidikan dan agama.

5. Lingkungan Hidup (Environment)

Konsep yang mendasari tema ini adalah mizan, i’tidal, khilafah, dan akhirah. Konsep-konsep tersebut menekankan pada prinsip keseimbangan, kesederhanaan, dan tanggung jawab dalam menjaga lingkungan. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan melestasikan bumi. Allah menyediakan bumi dan seluruh isinya termasuk lingkungan adalah untuk manusia kelola tanpa harus merusaknya. Namun watak dasar manusia yang rakus telah merusak lingkungan ini.
Hal ini telah Allah isyaratkan dalam firmannya:
 
“telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S Ar Ruum: 41)
Informasi yang diungkapkan dalam tema lingkungan diantaranya adalah konservasi lingkungan hidup, tidak membuat polusi lingkungan hidup, pendidikan mengenai lingkungan hidup, penghargaan di bidang lingkungan hidup, dan sistem manajemen lingkungan (Haniffa, 2002; Othman et al, 2009; Haniffa dan Hudaib, 2007).

6.  Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)

Konsep yang mendasari tema ini adalah konsep khilafah. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

“ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S Al Baqarah:30).
Tema tata kelola perusahaan dalam ISR merupakan penambahan dari Othman et al (2009) dimana tema ini tidak bisa dipisahkan dari perusahaan guna memastikan pengawasan pada aspek syaraiah perusahaan. Secara formal corporate governance dapat didefinisikan sebagai sistem hak, proses, dan kontrol secara keseluruhan yang ditetapkan secara internal dan eksternal atas manajemen sebuah entitas bisnis dengan tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan stakeholder. Menurut Muhammad (2005) Corporate governance bagi perbankan syariah memiliki cakupan yang lebih luas, karena memiliki kewajiban untuk mentaati seperangkat peraturan yang khas yaitu hukum syariat dan harapan kaum muslim.
Informasi yang diungkapkan dalam tema tata kelola perusahaan adalah status kepatuhan terhadap syariah, rincian nama dan profil direksi, DPS dan komisaris,  laporan kinerja komisrais, DPS, dan direksi, kebijakan remunerasi komisaris, DPS, dan direksi, laporan pendapatan dan penggunaan dana non halal, laporan perkara hukum, struktur kepemilikan saham, kebijakan anti korupsi, dan anti terorisme.
Dalam implementasinya di Indonesia prinsip GCG di dunia perbankan telah diatur dalam PBI No. 8 Tahun 2006 mengenai Implementasi Tata Kelola Perusahaan oleh Bank Komersial termasuk bank berbasis syariah. 

* Diambil dari Skripsi saya yang berjudul Analisis Tingkat Pengungkapan Kinerja Sosial Bank Syariah Berdasarkan Islamic Social Reporting Index (Indeks ISR)

PRODUK & JASA

KOLOM SYARIAH

KEISLAMAN

SERBA SERBI

AKTIVITAS PELATIHAN

AUDITING

AKUNTANSI SYARIAH

SEPUTAR AKUNTANSI